Adalah suatu pemandangan yang membuat saya agak terkejut, bahwa di sebuah sungai besar yang mempunyai volume air bisa sangat besar ini saya temukan ada pemukiman, bila bisa katakan demikian, disisi kanan sungai Ciliwung ini. Muncul banyak sekali pertanyaan dikepala saya, seperti apa mereka harus menjalani hidup disana, sementara diatas mereka lalu lalang ratusan bahkan ribuan kendaraan bermotor yang seakan tidak sempat untuk mencari tahu, ada apakan dibawah jalan yang mereka lalui ini.
Saya beranikan diri untuk mendekat ke lokasi itu, dan tampak seorang anak kecil sedang bermain diantara batuan raksasa yang ada disana. Saat seorang perempuan mendekati anak itu, saya beranikan diri untuk mendekat, ibu Ijah, sebut saja demikian, awalnya agak kaget dengan kehadiran saya di "halaman rumahnya", tapi setelah saya ajak berbincang-bincang, tampak keramahan di setiap kata yang diucapkannya. Hampir 1 tahun lebih ibu Ijah berdiam di tepi sungai ini bersama suami dan 4 anaknya. Dan baru saya ketahui bahwa keluarga ini menggantungkan kehidupan mereka dengan mengumpulkan plastik ataupun barang-barang bekas untuk dijual. Siang sampai malam keluarga itu berkeliling kota ini, dan biasanya pada malam hari mereka beristirahat disekitar taman topi atau jalan juanda, lalu pagi harinya sekitar pukul 06.00 mereka baru pulang ke kediaman mereka ini untuk sekedar melanjutkan istirahat. Alasan mereka tidak langsung pulang karena mereka pun khawatir kondisi sungai pada malam hari. Sempat saya tanyakan apakah pernah mengalami banjir pada saat sedang ada di tempat ini. Sambil tersenyum ibu Ijah menjawab mereka sering mengalaminya, dan sambil menunjuk kearah pondasi jembatan, dan tampak oleh mata saya sebuah tangga naik yang dijadikan alat untuk menyelamatkan diri mereka.
Di lokasi inilah keluarga ini melakukan semua aktivitas mereka, baik mandi, mencuci,memasak, dan dari sungai inilah mereka menggantungkan hidup mereka. Dengan penghasilan bila sedang ramai sekitar Rp30,000 - Rp 50,000 setiap harinya, tentu berat bagi mereka untuk dapat menyewa kamar bagi kehidupan mereka, belum ditambah pengeluaran air serta listrik. Tapi bukan berarti tidak ada keinginan dari mereka untuk meninggalkan kehidupan yang seperti ini, "sudah lelah juga mas hidup menggelandang seperti ini. Kalau saja ada rumah sewa yang murah, mungkin sekitar Rp200,000 sebulan, kami juga ingin pergi dari tempat ini," tutur ibu Ijah sambil berharap.
Hal ini tentunya menjadi semacam pekerjaan rumah bagi pihak terkait untuk dapat menyediakan rumah yang terjangkau bagi kalangan seperti ibu Ijah dan keluarga yang jumlahnya tidak bisa dikatakan sedikit ini. Bukan hanya sekedar menyediakan tempat tinggal yang layak, akan tetapi juga demi keselamatan jiwa mereka yang senantiasa terancam berada di tempat seperti ini. Semoga saja akan datang saatnya untuk mereka semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar