Kamis, 04 Juni 2015

Prasasti Muara

Belum selesai sampai disini perjalanan saya di Ciaruteun ilir ini, Pak Gandi kembali mengajak saya mengunjungi satu tempat lagi. Namun beliau menyarankan untuk menggunakan kendaraan karena jaraknya yang memang agak jauh
bila ditempuh dengan berjalan kaki. Menuju lebih ke arah utara, sampai akhirnya bertemu jembatan besi yang menyeberangi Sungai Cianten, saya belokkan mobil ke arah kanan, masuk dalam satu area yang terdapat satu rumah di depannya. Disana saya dikenalkan pada Mang Tata, sebut saja demikian, seorang juru pelihara prasasti ini.

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, hingga berada ditepian sungai, dan diantara rumpun bambu, terdapat papan tanda tempat dimana prasasti itu berada. Berbeda dengan prasasti-prasasti atau situs-situs lain yang selalu menjadi fokus utama saya saat datang berkunjung, kali ini pandangan mata saya dipenuhi oleh indahnya panorama alam yang terbentang dihadapan. Aliran sungai yang mempunyai luas cukup lebar, dan tempat saya berdiri berada di tengah-tengah pertemuan antara Sungai Cianten dan Sungai Cisadane. Disinilah muara sungai Cianten. Pemandangan yang sangat indah bagi saya. Kami turun hingga batas pinggir sungai. Mensyukuri kondisi air yang sedang tidak terlalu tinggi, hingga saya bisa dengan bebas berloncatan diantara batu-batu yang bertebaran disana. 

Sampai akhirnya Pak Gandi menyadarkan saya bahwa keberadaan saya disini untuk melihat prasasti yang ada. Beliau menunjukkan satu batu besar yang berada dipinggir Sungai Cisadane, mungkin hanya berjarak sekitar 50 meter dari Sungai Cianten. Batu besar, batu yang dinamakan Prasasti Muara  ini ada dihadapan saya,dengan pahatan yang katanya belum bisa dipecahkan, apa arti didalamnya. Bahkan menurut penuturannya, bisa saja ini hanya berupa pahatan gambar berbentuk suluran saja. Saya membayangkan betapa saat Sungai Cisadane sedang dalam keadaan pasang, tentu saja batu ini menghadapi gempuran yang tidak mudah untuk tetap tegar berdiri. Namun menurut penuturan Pak Gandi, batu ini tidak bergeser sama sekali. Hanya saja, bentuk tulisan atau gambar yang ada disana terlihat semakin aus karena desakan aliran sungai. Mengingat volume air Sungai Cisadane bila dalam keadaan banjir sangatlah besar, sangat mungkin batu ini senantiasa berada dibawah air.

Tidak habisnya saya mengagumi panorama tempat ini. Dan besar kemungkinan tempat ini dahulunya menjadi tempat yang ramai dikunjungi kapal-kapal, karena kondisi air disekitar sini begitu tenang, memungkinkan kapal untuk melepas sauh disini,sebelum Sungai Cisadane kembali mengalir kearah utara. Dan keberuntungan sedang menghinggapi saya, saat saya melihat seorang bapak yang sedang menebar jalanya sambil menggunakan rakit bambu. Pemandangan yang sangat luar biasa bagi saya.

Tidak berhenti disini, mungkin juga khawatir dengan kondisi saya yang begitu betah, begitu menikmati panorama yang ada, Pak Gandi segera mengajak saya kembali ke darat, ada yang ingin dia perlihatkan pada saya.  Berjalan sekitar 30 meter dari tepi sungai, kembali hati saya dibuat tidak karuan, melihat tumpukan batu bercirikan budaya megalitikum terhampar dihadapan saya. Ada sekitar 5 sampai 6 batu berdiri tegak dengan berbagai bentuk. Bahkan salah satunya, dimata saya seperti berbentuk ular. Berada di pekarangan warga yang menurut Pak Gandi masih kerabat dari Mang Tata, kumpulan batu ini berdiri tanpa ada nama. Dan semakin kuat kesimpulan dalam hati saya, bahwa lokasi ini, wilayah Ciaruteun ilir ini memang sudah dihuni oleh masyarakat sejak jaman yang sangat tua, entah sejak kapan.

Selesai dari sana, kami sempatkan untuk berbincang-bincang dikediaman Mang Tata. Sambil menikmati kopi, obrolan berjalan dengan lancar. Dan sepertinya mereka sudah tahu apa yang ada dikepala saya, mengenai keberadaan tempat-tempat yang sangat layak menjadi obyek wisata bernuansakan sejarah dan budaya ini, mereka pun seperti menyesali kepedulian dari pemerintah daerah. Sama seperti yang dikeluhkan oleh entah berapa juru pelihara yang sudah saya temui. Entah berapa kali mereka mengeluarkan biaya dari kocek mereka sendiri untuk tetap bisa menjaga fasiltas yang ada. Mereka tidak tahan menunggu kucuran dana dari daerah, yang akhirnya semampu mereka, mereka lakukan pembenahan. Bahkan dari informasi yang saya dapatkan, masyarakat sekitar sini sudah mau dibebaskan tanahnya, bila pemerintah daerah mau membeli untuk kepentingan wisata di wilayah ini. Wacana yang dulu sempat dihembuskan ini pun akhirnya terbang tertiup angin, entah kemana. Terbayang di kepala saya, seandainya ini bisa terlaksana, kemungkinan bisa ditemukan lagi peninggalan-peninggalan lain yang ada di daerah ini, bila memang pihak yang berwenang merasa bahwa daerah ini berpotensi besar menjadi satu daerah tujuan wisata sejarah dan budaya. Sekali lagi saya hanya bisa menarik nafas sambil tersenyum getir mendengar penuturan ini, langsung dari mereka-mereka yang terpanggil untuk tetap menjaga keberadaan peninggalan karuhun wilayah ini, supaya masih tetap terjaga sehingga kita semua yang ada saat ini bisa menyadari, bahwa pendahulu-pendahulu kita bukanlah orang-orang sembarangan.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar