Kamis, 07 Maret 2013

Batutulis..surga prasasti

Berjalan di kawasan yang cukup padat ini akan membawa suasana lain dalam perjalanan kita. Sebuah ruas jalan yang tidak begitu panjang. yang merupakan terusan dari jalan lawang gintung, dimulai dari pertigaan Cipaku, kemudian berbelok saat bertemu dengan jalan Pahlawan dan berakhir di pertigaan jalan Siliwangi ini  bisa dikatakan merupakan surga dari prasasti peninggalan jaman kerajaan Padjajaran. Setidaknya ada tiga prasasti yang berada di tepi jalan ini, dan konon dari informasi yang saya peroleh dari masyarakat sekitar, sebenarnya masih banyak yang bisa ditemui bisa kita masuk ke jalan-jalan kecil disekitarnya, dan kebanyakan berada di areal halaman rumah tinggal.
Suasana disekitar jalan ini pun terbilang belum terlalu disentuh dengan modernisasi. Masih banyak terdapat bangunan-bangunan lama, hanya beberapa ruko dan pom bensin saja yang menandai adanya perkembangan jaman didaerah ini. Sisanya masih memperlihatkan sisa-sisa kejayaan masa lampau.

Pada tikungan akhir menjelang jalan Batutulis ini,terdapat sebuah situs yang berupa arca yang kerap kali terlewati begitu saja, sangat jarang diketahui oleh orang yang lalu lalang bahkan mereka yang berkesempatan untuk mengisi perut mereka disebuah rumah makan yang terkenal dengan sayur asemnya. Arca Purwakalih namanya. Situs ini berada disebuah cungkup yang sebenarnya cukup mencolok keberadaannya. Tapi ironis, saat mereka datang ke rumah makan sayur asem yang nota bene mengambil nama dari situs ini, keberadaannya tetap saja luput dari perhatian.


Ibu Yani, merupakan juru kunci dari prasasti ini menuturkan bahwa memang sangat jarang yang datang ataupun menyadari keberadaan tempat ini yang merupakan peninggalan dari penasehat Prabu Siliwangi, raja Padjajaran. Dan sangat janggal bagi saya, walaupun dinas purbakala sudah mencantumkan plang nama situs ini, namun ada kesalahan tulis disana. Di plang itu tertulis Situs Arca Puragalih. Saat saya tanyakan itu pada Ibu Yani, beliau hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan tiada berdaya untuk memperbaikinya.

Situs seluas 39 meter persegi ini berupa kumpulan batu yang disana terdapat 3 buah patung yang menurut Ibu Yani merupakan patung Purwakalih, Galap Nyawang dan Kidang Penanjung. Dan saya perhatikan pada salah satu arca, sudah tidak terdapat kepalanya, seperti sengaja dipotong, sayang sekali memang.
 Situ yang ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 1991 pada saat akan dilakukan pelebaran jalan ini membutuhkan penanganan lebih serius untuk dapat dijadikan salah satu tempat yang lebih layak dikunjungi lagi.
Lokasi yang satu ini mungkin jauh lebih populer dibandingkan dengan situs arca Purwakalih, Prasasi Batutulis namanya. Tentunya ini merupakan tempat yang sudah tidak asing lagi, karena kita sudah sering membaca di buku-buku sejarah pelajaran dari mulai kita sekolah dasar dulu.

Juga terletak di pinggir jalan yang sangat ramai, prasasti ini ini berdiri kokoh di areal seluas 255 meter persegi, merupakan suatu komplek prasati yang didalamnya terdapat 15 buah prasasti yang terdiri dari 6 buah batu yang berada didalam cungkup, 1 buah di luar cungkup, 2 buah di serambi dan 6 buah di di halaman.

Menurut Ibu Maemunah selaku juru kunci komplek prasati ini, tempat ini kerap kali dikunjungi masyarakat baik siang maupun malam. Akan tetapi karena sulitnya areal parkir, agak sedikit menyulitkan bagi rombongan yang hendak datang ke tempat ini.
Didalam cungkup terdapat batu  berbentuk lingga yang merupakan lambang kesuburan, juga terdapat tapak kaki Prabu Siliwangi, sebuah batu yang diyakini sebagai tempat bersandar, serta batu yang bertuliskan suatu pesan ataupun suatu peringatan.

Bersasarkan kajian pada teks batutulis ini berhasil disusun oleh Saleh Danasasmita, yaitu berisi "Oo wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu Diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diya dingaran sri

Baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu deWata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dew anis-kala sa(ng) sidamoka di
Gunatiga, i(n) cu rah rahyang niskala wastuKa(n) cana sa(ng) sidamokta ka nusa larang, ya siya nu nyiyan sakaka-
La gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga Rena mahawijaya, ya siya pun 00 1 saka, panca pandawa (m) ban bumi 00 " yang terjemahannya "Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan Dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar “Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang 
Membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang Di Gunutiga, cucu Rahiyang Dewa Niskala Wastu Kencana yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat) dalam (tahun) Saka 1455” 
 Masih teringat saat komplek prasasti ini menjadi polemik saat dilakukan penggalian oleh orang-orang yang keblinger walau mempunyai pangkat di negara ini dihalaman luar cungkupnya, karena dipercaya terdapat harta karun didalamnya. Mudah-mudahan tempat ini akan tetap terjaga keberadaannya dan membutuhkan sentuhan dari pihak terkait untuk bisa menjadikan tempat ini menjadi suatu wisata budaya serta sejarah yang sangat luar biasa.



Tempat terakhir yang saya kunjungi adalah salah satu tempat yang kondisinya jauh lebih memprihatinkan dibanding dua tempat sebelumnya. Juga terdapat di pinggir jalan, terletak sebelum pasar yang senantiasa ramai oleh pengunjung, situs ini tergolek kesepian begitu saja. Walaupun cungkup yang melindunginya cukup mencolok mata, namun tetap saja situ ini luput dari perhatian. Bahkan namanya pun tidak tertera disana, hanya sebuah plang dari dinas purbakala saja yang ada yang menyatakan bahwa ini adalah situs purbakala tanpa ada embel-embel nama apapun.

Saat saya datangi pun tidak saya temui adanya juru kunci yang menunggu tempat ini, hanya ada seperangkat alat pembersih dan pagar kecil dalam keadaan terkunci saja. Saat saya melongok dan mengambil gambar disana, saya cukup kebingungan untuk mendapatkan informasi.



Tiba- tiba seorang ibu yang sudah berumur menegur saya, menanyakan apa yang saya ingin ketahui. "Eta ngarana Mbah Congkrang, jang" tuturnya dalam bahasa Sunda, yang berarti, "itu namanya Mbah Congkrang,nak". Saat saya hampiri dan ajak bicara lebih jauh lagi, ternyata sang ibu pun tidak mengetahui terlalu banyak tentang tenmpat ini. Akan tetapi sang Ibu malah mengisahkan tentang tempat dimana pasar ini berada. Pasar Bale Kambang namanya. Dan dahulunya dipercaya merupakan suatu kolam dan terdapat bale-bale dimana dahulunya merupakan tempat raja-raja Padjajaran untuk duduk-duduk dan menerima tamu.
Suatu kebetulan yang sangat menyenangkan bagi saya, terlepas benar-tidaknya informasi yang saya peroleh ini, saya telah mendapatkan informasi yang memperkaya wawasan saya terhadap lokasi ini. Dan bila disinilah tempat raja menerima tamu, tentunya kraton Padjajaran pun tidak jauh letaknya dari tempat ini. Hmmmm...suatu teori baru yang cukup menari bagi saya untuk dilain hari menyusuri tempat ini secara lebih mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar